MEMPUISIKAN

by - January 06, 2017


Jujur saja, saya suka sekali dengan kalimat-kalimat yang ada di beberapa bait yang disampaikan dalam beberapa puisi ini. Kalimatnya begitu melow dan membuat saya ikut terhanyut membacanya.. #baper . 
Mari simak selengkapnya~


aku mendengar kita jauh
di gerimis yang jatuh 
menyentuh wajah jendela
dengan tabahnya

langit malam telah teduh
dan aku sungguh
mengingatmu begitu deras
sebab mendung yang menetas

sungguh tak sesiapapun 
selain tentang kau.




aku ingin tinggal di sebuah kota. di sana, senja tidak pernah tidak indah. semburat senyumnya berwarna ungu dan sedikit merah. awannya merentang luas seperti membalas pelukan langit yang membara.
aku ingin tinggal di sebuah kota. di sana, orang-orang berbahasa dengan puisi. jatuh cinta dan patah hati adalah kedua hal yang paling ditunggu di semburat senja, di depan beranda, atau di jalanan-jalanan yang basah. terkadang, di dalam hal-hal yang tidak bisa dituliskan.
aku ingin tinggal di kota seseorang. di sana, ia lahir dari kata dan tumbuh menjadi sajak-sajak cinta. suatu hari kutemukan kata-katanya menyapaku di hadapan sore. lalu kubaca senja terpantul jernih dari matanya, dan terpaut pantas dengan senyumnya yang melengkung seperti bibir pantai yang kadang-kadang murung.
aku menamakan kota itu kota cinta, tempat bangun dan tidurnya seseorang yang tercinta.




sudah makankah kau hari ini?
aku memotong bawang putih, bawang merah, dan menggoreng ayam,
lalu menumis perasaan

jangan lupa pulang,
jendela rumah terbuka dan aku yakin
kau mampu menghirup harum
garam, lada, ketumbar, dan air mata

dinding dapur berminyak
tubuhku tercampur aroma-aroma
penantian, dan kuharap kau
hari ini menambah nasi

di meja makan, piring-piring hambar
dingin dan tidak sabar,
sendok garpu meringis, menangis
mengecap cabai di geligimu yang mengaku lapar





suatu pagi, aku hendak menulis puisi
pensilku tinggal separuh
ujungnya tumpul
badannya rapuh dan luruh


lalu aku meraut ujungnya,
matanya tak tajam-tajam
tetapi mampu menoreh dalam


suatu hari nanti, aku hendak menulis puisi,
alat tulis tak ada lagi


hatiku berdarah,
adakah yang lebih merah dari perasaan terjarah?





di dalam perasaanku telah tumbuh
angin begitu keruh


aku seperti jatuh, jauh,
rasanya ingin kutebah tubuhku
dengan tanah


sebuah bunyi merajut dirinya
menjadi selimut
ketika malam adalah pengakuanku
yang membeku separuh


aku sekali lagi jatuh, jauh,
seperti ingin berlari dan menghilang
tetapi tertahan rasa sayang,


kepada kau, juita kata,
penantianku kehilangan kepala.




sepi ini ruang tunggu tanpa nomor antrean 
detik jam bergeming tak menunjukkan seberapa lama
dan aku masih duduk menatap langit
seakan kelak menemukan jawaban 
dari segala yang bertanya


di dalam dadaku
sebentuk hati menjatuhkan gerimis namamu
menyisakan genangan yang mereka sebut kenangan


tak jauh kau pernah melangkah menyusuri kecemasanku
tetapi tak dekat pula hingga sempat membalas tangisku
kau, ialah pintu di sebuah ruangan tempatku berada;
tak berani kuketuk,
hanya kutunggu


entah berapa lama lagi,
entah berapa sajak lagi..


lalu kurasakan kuyup tanganku meminta;
jika tak bisa kaubalas perasaanku, bisakah kaujawab tungguku?






jika waktu dapat kupetik dan kusimpan, akan kurakit lemari besar yang tingginya melampaui kerinduanku. di sana, kusimpan lebih dari seribu masa. lilin-lilin kunyalakan dengan hal yang kausebut harapan. kemudian kusiapkan hatiku menunggu tanpa bertanya.
tetapi tak satu jarum jam pun mampu menipu sepasang mata dan telingaku. aku mendengar detiknya lebih jelas dari bunyi langkah kedatanganmu, dan kulihat lajunya lebih lambat dari sepasang lengan yang menjauh. tak pernah kukira penantian begitu lumpuh di hadapan tabahku.
bagiku, kau hanya perlu sekali saja berlalu, dan meminta kita tetap ada selama aku menunggu. sementara aku meratap rindu, langit di atas sana sering menjatuhkan hujan. ia menyentuh dua perasaan yang berbeda. di tempatku, basahnya luruh tanpa memadamkan kerinduan panjang yang membakar. di tempatmu, ia menetes deras tanpa membiarkan kau mengingatku.
andai aku mulai kehilangan arah, bukankah seharusnya kau menuntunku sekali lagi?
atau jika telah kautemui hati terbaik yang tulusnya melampaui penantianku; yang rindunya jauh lebih tua dari tahun-tahun kerinduanku; yang cintanya memahamimu melebihi siapapun termasuk aku, katakanlah.. sebab tak ada yang lebih kusyukuri, dari embus kabar pembawa kepastian sepasang hati.




aku tidak tahu, sejak kapan kehidupanku dimulai dengan mencintaimu. segalanya terasa tak pernah asing, sekaligus sangat asing.
entah mengapa ini semua dimulai dengan mengakar di namamu. aku tidak ada kendali, tetapi kau seperti memberiku kemudi.
pertanyaan-pertanyaan ini fana di matamu. kau bilang sudah ada jawaban; lihatlah sendiri ke dalamku.
tetapi sungguh, tak kutemukan setitikpun penjelasan, selain kau yang tidak pernah bermimpi untuk bertahan.
lalu untuk apa hatiku bersusah payah, jika bagimu kita sekadar kaprah?




ke dalam gelas retak yang kaupegang,
aku menuang tanda tanya,
masihkah berlaku kata-kata yang dulu kukecap di kecup bibirmu? 
masihkah janji serupa hal yang ingin kau tepati?


di kepalaku,
meluap bimbang atas apa yang pernah terisi di gelas yang kulihat semakin jauh dari genggamanmu.


apakah malam telah membutakan sepasang mataku ketika setiap hari tak pernah menyapa langitmu?;
aku tidak bisa membaca apa-apa yang kaupunya.


seribu pinta menjadi tinta di atas huruf-huruf yang semoga kaubaca ini;
jawab aku, untuk takdir yang meragu..


masihkah kita merawat cinta dalam detak rahasia?




aku membiarkan dingin udara menusuk jauh ke dalam pikiranku; ke dalam tubuhku pula,
aku ingin lebih tidak peduli lagi sebab sakit di dalam dadaku mengalahkan segalanya..


seperti baru kusadari, tengah kutapaki perasaan yang akhirnya menyakiti,
dan tak pernah kukira akan seperti ini perihnya..


ingin rasanya, mengatakan padamu, aku berharap untuk melanjutkan perjalanan sendirian,
tetapi cinta yang hidup di detak jantungku ini masih menapaskan namamu, dan hanya namamu.. 
seperti tidak bisa seorangpun membunuhnya, tidak pula diriku sendiri..


maka kali ini, di bawah langit dingin, 
sedang kutangiskan semua pedih perih yang menyayat,
aku berdoa..


Tuhan.. 
jika cinta memang sesakit ini..
kuatkanlah aku…






bagaimana jika hati yang begitu parah mencintaimu
tidak akan pernah siap ditinggalkanmu?


dengan susah payah
kerinduan mengubur egonya jutaan kali
menahan langkah kaki yang selalu ingin
berlari ke arahmu 
hanya untuk meminta sebuah ciuman
atau pelukan,
yang bahkan mungkin kau enggan 
menghadiahkannya kepadaku


dan ketika aku melihatmu
tengah bersiap-siap menjejaki kepergian
hati ini tetap keras kepala tidak ingin
turut bersiap-siap; menghadapi kesendirian..


dalam mencintai, katamu, butuh sepasang hati
bukan sendiri


tetapi mengapa kau tidak bisa melihat 
hati ini yang sungguh…
hanya dapat mencintaimu sekali
dan tanpa berhenti..


mungkin,
kau hanya perlu menahan pergimu.
sebab tidak pernah ada yang siap dengan perpisahan,
tidak pula aku.






langit mungkin sedang tidak cantik-cantiknya
atau, tidak pernah cukup cantik
untuk mencuri matamu lebih lama
dari sedetik


jika bagimu senja lebih indah,
sesungguhnya 
langit itu ingin sekali menjadi senja
selalu dan tanpa waktu
agar bisa kaulihat tanpa berjeda


atau jika bagimu pagi lebih menawan,
sesungguhnya
langit itu ingin sekali menjadi pagi
yang basah dan teduh memelukmu
setiap detak waktu berdetik
agar kau tak pernah ingin melangkah pergi


entahlah,
apapun warna kesukaanmu;
waktu pada langit yang biru,
di atas sana
bentang luas itu mencintaimu dengan berbagai warna


maka ketika tak mampu kauterima ia dengan seluruhnya,
langit itu menginginkanmu
memahami setiap warna tubuhnya
yang sayang
kepadamu seorang.


dariku,
seseorang di balik langit biru.






hari ini udara terasa lebih tebal dari biasanya
kepalaku memutar ulang tentangmu
berkali-kali hingga sampai di tahap tak mampu lagi
hingga bantal tidurku basah
hatiku tak ingin pula berhenti menyakiti diri


aku mendengar kata-katamu di telingaku
sekali lagi
betapa kau tak pernah ingin menyakiti
hatiku


dinding kamar seperti ikut menahan perih
pucatnya sama seperti kerinduan yang
perlahan kehilangan napasnya
sementara kau masih begitu nyata di kepalaku
sebagai memori dan suara yang begitu indah
juga kesedihan yang begitu parah


aku melihat tatapan matamu dalam mataku
sekali lagi
betapa dalam kau mengaku mencintaiku


tetapi, kekasih,
hari ini aku tidak mengerti semuanya
tentang kata-kata dan tatapan matamu
yang dulu
pernah begitu hangat memelukku
tetapi kini
membeku seperti musim akhir tahun


aku tidak mengerti
mengapa harus kau berjanji
jika berakhir kau ingkari?





ingatan-ingatan enggan karat
senyumanmu terpaut tanpa jeda
aku
bersyukur,
sekali lagi..


engkau pernah mengajakku
membayangkan
jika di angkasa sana kita bertemu
dan memiliki usia yang berjejak lambat


tapi kita
tak pernah dan belum
terlambat


untuk merangkai mimpi dari mula
menghiasnya dengan doa
mengecupnya sepenuh amin


sebab aku, kekasihku, selalu percaya
jika kucintai kau 
dengan tanpa putus memegang Tuhan
akan kita miliki apa pun itu
yang sungguh megah dan lebih luas
dari sekadar
waktu di angkasa.





dingin malam semakin memeluk tulang
sementara
belum kurasakan lenganmu 
membakar tubuhku


aku lebih rela jadi abu
hangus atau menghitam sebab
pelukanmu


pikiranku kian jauh
dan masih
belum kutemukan kau merawat
perasaan-perasaanku yang resah


maka aku menggambarmu 
sepenuh ingin
seakan kau ada dalam tiada
seakan kau tengah mengabulkan
keinginanku


beradalah kau, kekasihku,
di sini,
di sepanjang malamku..


agar gigil ini menjadi tak perlu.




dalam sajak ini, aku ingin bercerita,
tentang kayu kayu yang terbakar hangat,
napas napas yang semangat menyanyikan sunyi,
alir sungai yang bisu menenangkan,
serta sore yang terlalu bergegas menjemput gelap.


ketika itu,
bintang sembunyi malu-malu,
sepasang mata bergumam mencari titik cahaya di atas kepala,
betapa gelap awan ini;
mari nyalakan unggun!


kami berdansa dalam pikiran masing-masing,
untuk menyuarakan bicara sebagai irama penuh nada,
tawa yang renyah sekaligus serius menikmati masa.


rasanya tidak ingin pulang.
tetapi langit perlahan menyindir dengan embus angin;
menusuk dan dingin.
sekali lagi,
kami merapat pada kayu yang belum abu!


oh sungguh,
betapa sederhana,
kebahagiaan kebahagiaan menguap dalam Sabtu malam.
melebur; menghibur.
sambil membacakan puisi sebagai penghias sepi
untuk mencintai malam ini 
lebih dalam lagi.


maka percayalah, kawan,
kali ini aku senang! 
dalam waktu singkat,
telah kita lalui sebuah tualang!


dan kuharap puisi, menyatukan kita sekali lagi.




satu dua tiga,
sajak ini menghitung langkah pergimu.


satu,
kutemukan cinta tak lagi tumbuh 
di sepasang dada kita.
lupakanlah, kataku,
kau harus segera pergi
sebab aku tak mampu memberimu bahagia
sekali lagi.


dua,
di antara kita
engkau tidak pernah menuliskan apa-apa
tak perlu pula kita
berpura-pura sedang menghapus sesuatu.
sebab pada mulanya,
kita ialah perpisahan yang hanya sebentar tertunda.


tiga,
aku tak akan melupakan hari itu,
ketika kita begitu angkuh berbagi seluruh,
tanpa pedulikan lambaian-lambaian tangan perpisahan 
yang begitu siap 
menampar kau dan aku.


maka bacalah, sajak ini,
huruf-huruf yang memohonmu pergi.






kamu belum tahu aku.
hujan yang jatuh mengetuk pintu dan jendela rumahmu
payung rusak di sudut sebuah kamar


aku,
cuaca yang diabaikan waktu.


kamu belum tahu aku.
malam hari tanpa bintang yang sama sekali tidak menunjukkanmu jalan
dan bulan di balik awan yang tengah menangis sambil memanggil namamu


aku,
kerinduan yang payah.






aku pernah memiliki keinginan untuk memutar waktu
dan kembali padamu
menjaga dalam pelukan dan tak melepasnya
sebab kuketahui kau akan pergi jika kubiarkan begitu saja.


sebab kuketahui kau tidak bisa menungguku kembali
—kau tidak pernah bisa; kau tak ingin mencoba.


aku pernah mencintaimu begitu sempurna
sampai ingin rasanya kukoyak hatiku sendiri
karena mengasihimu begitu sakitnya
dan tidak kutemukan caranya berhenti


sesungguhnya mungkin hanya aku 
satu-satunya yang mengetahui bagaimana rasanya berjuang
untuk sekadar mengucapkan kata sayang;
untuk memilikimu sedikit dalam ciuman yang panjang.


aku pernah mengira kau mencintaiku juga,
sama hebatnya dengan hatiku yang kuberikan dengan rela;
dengan tanpa mengharap apa-apa,
kecuali hatimu untukku saja.


tetapi ternyata Tuhan dan waktu lebih mencintaiku
dari kata-kata cintamu yang tak bernyawa itu.


ternyata kau hanya mengajariku bagaimana merakit sakit
untuk menjadi puisi-puisi paling pahit.
ternyata kau cukup terjadi pada hidupku sekali,
untuk selalu ada padaku, 
sebagai puisi patah hati.







kepada yang semalam
menitipkan dirinya berupa ciuman
dalam mimpiku.


jika kecintaanku kepadamu
hanya terwujud dalam sebuah mimpi
dan manis kecupan-kecupan itu
bunga imaji paling harum pada malam


aku tak apa.
barangkali perasaan ini memang baiknya
seperti itu;
seperti detak hati
yang cintanya tak kau ketahui


aku tak apa.
jika bibirku hanya kaubasahi 
sebatas khayalan setiap malam yang sunyi
dan engkau tak mengetahui apa-apa pula
—bahkan ketika namamu menjadi alasan tunggal
untukku menulis kerinduan ini


aku tak apa.
tapi kumohon kau tak perlu jera,
untuk menjadi cinta yang kupuji kupuja
setiap malam; setiap doa,
setiap hatiku mengasihimu, begitu terlalu,
bahkan ketika kau tak pula ingin tahu.


kuharap kau juga tak apa,
ketika semalam
aku memimpikanmu, dan kunikmati itu.







aku tidak mengharap langit
ketika tidak bisa terbang


silakan engkau yang menjadi bintang
sementara aku pungguk dalam bayang-bayang


tapi besok ketika
aku ingin mulai belajar, merawat sayap
agar bisa tinggi mencapaimu


mungkinkah engkau, yang sahaja
menerimaku lapang dada
si pungguk tua yang hanya punya cinta
untukmu—saja.






betapa panas sebuah perasaan
menguapkan kepul asapnya
membakar keresahan-keresahan menjadi kebahagiaan
yang bahkan engkau tidak mengetahui penyebabnya


aku ingin lari
ke manapun tempat kau berada
aku ingin sembunyi
di dalam tubuhmu yang merah menyala


sebab engkau membakarku sampai tiada
menyisakan hanya selengkung kebahagiaan
pada bibirku yang masih tersisa
pada pengharapanku yang tinggal setitik bertahan


aku ingin lari 
ke manapun tempat kau berada
aku ingin secepatnya menjadi api
dan menjagamu tetap menyala







pada lengang sebuah stasiun
kutitipkan kesedihanku seiring angin
bersama lambaian-lambaian tangan kita yang perlahan hilang


betapa tak terasanya, sebuah perpisahan,
yang sungguh, sayangku,
tak pernah kuduga akan lahir di antara kita


akan kuingat, sebuah lengkung manis pada bibirmu
tempat kecupku pernah mendarat
ketika kita masih saling memiliki
dan berbagi hal-hal fana di dunia ini;
seperti waktu, seperti perasaanmu.


maka setelah ini,
aku pulang dengan tetap mengingatmu
sebagai sisa kenangan 
yang telah pergi
dan tak berniat kembali..






aku mulai kehilangan pikiranku sendiri
kepala kosong ini
tidak ada apa-apa lagi
selain namamu


aku mulai kehilangan apa-apa yang padaku
sebab semuanya pergi mengikutimu
menikmati kepergian dengan semangat
dan aku hanya sisa-sisa ingatan
yang berusaha
tidak kehilangan kenangan


aku tahu kau tidak akan lagi
ada di sana
di sudut yang masih bisa menatapku
atau di sebuah jalanan
yang mengarah kepadaku


aku tahu kau sedang menikmati kenyataan kita
yang bukan lagi siapa-siapa


aku mulai kehilangan kepalaku sendiri
aku mulai melupakan diriku sendiri
setelah semua yang sisa padaku
tidak lagi kamu.






jika telah terlalu jenuh perjalanan kau tempuh
ketika menjauhiku,
ketahuilah, sayang,
sesungguhnya jalan kembali kepadaku
hanya selangkah di belakangmu


sebutlah aku bayangan 
yang dalam diam mencintai langkah kakimu
meski engkau tengah mengarah ke kepergian
sebutlah aku sebagai bekas jejak yang selalu ada
bahkan ketika engkau semakin meniada


atau jika telah kembali ingatanmu kepadaku
mengulang-ulang bahagia kita yang sempat kau lupa,
sungguh, ketahuilah sayang,
lenganku masih merentang menunggu tubuhmu berbalik badan
menghadiahkan sebuah pelukan


sebutlah aku
sebagai hal-hal
yang tak akan menyerah memberimu perasaan
meski kau tengah menegaskan kepergian


sebab sesungguhnya penantianku,
hanya selangkah 
di belakang kepergianmu.






kepada engkau pemilik senyum termanis
aku ingin menuliskanmu hal yang mudah kaubaca dan kaupahami
sebab tidak ingin memusingkanmu dengan sejuta kiasan tak perlu,
seperti betapa besar cintaku melebihi luas angkasa di atas kepalamu
atau betapa lengang rindu ini tanpa sepasang lengan yang berbagi api


sebenarnya, 
aku ingin mencintaimu melalui puisi,
sebab dalam puisi aku berani jadi diriku sendiri
dan bisa kumiliki kau meski sedang tidak berada di sini.
tapi ternyata berlembar-lembar puisi tak mampu pula menampung seluruh perasaanku kepadamu.
mungkin karena cintaku lebih tragis dari sekadar kata-kata puitis.


maka,
setelah bait-bait tak menarik ini,
aku menuliskanmu hal sederhana yang mudah kaubaca,
agar engkau percaya bahwa tulisan ini sedang menujumu;


“Sayang,
aku mencintaimu.”






jika bisa kautunjukkan aku bagaimana mencari sabar
di kedalaman sisa kekuatanku
mungkin setiap hari tak perlu ada seribu doa
untuk mengemis bibirmu mengucap amin


sementara, kau tahu,
tidak akan ada cinta yang lebih menyedihkan dari hatiku
yang mencintaimu seperti ini;
seperti seseorang yang hanya punya satu arah di dalam kompasnya
yang hanya mengenal bagaimana sampai ke tujuan
tanpa peduli berkali-kali dijatuhkan


aku tak punya apa-apa untukmu,
tapi jika bisa kujadikan kata-kata sebagai harta
akan kuserahkan segala rupa rangkai kalimat untuk mencintaimu
mengindahkanmu dengan doa-doa yang tak terhitung
hingga kau selalu merasa beruntung


bahwa masih ada aku,
yang mencintaimu dengan berpasrah
dengan segala yang terakit dalam nyawaku
dalam sisa usiaku
dalam kekuatanku


dalam segala apa yang tak kautahu…
maka, jika kau punya waktu,
sisakanlah 
untuk mengaminkan cintaku.







suatu hari,
aku membangun sebuah rumah
dengan lengan-lenganku yang patah
dalam tubuhmu
begitu megah
kurangkai berpilar mimpi
beratapkan semoga
begitu lama
aku membangunnya tanpa jeda
menyempurnakan segala yang hampir punah
dengan sebuah harapan yang mengais di ketiadaan


aku,
mewarnai dinding-dindingnya dengan air mata
dengan sakit yang terakit sangat pahit
dengan tabah dalam tubuh yang terus bertambah
dengan sabar yang pelan-pelan mencoba tegar


ingin kubangun sebuah tempatku berlindung
ketika hatiku patah dan lemah
dalam tubuhmu,
dalam tubuhmu..


aku berusaha keras,
mencoba sekali lagi untuk berani berharap
sekali lagi untuk bangun dari kesedihan yang kerap
menata semua yang diruntuhkan kecewa
dari dalam diriku,
ingin kusandarkan segala sakit
hanya pada tubuhmu,
hanya pada tubuhmu..


maka bantulah aku,
kuatkan aku sekali lagi
kembalikan segala apa yang patah dariku
untuk sekali lagi sempurna
menjadi doa-doa tanpa jeda
yang mencintaimu,
yang mencintaimu..


maka jangan patahkan aku,
sebelum rumah ini selesai kubangun,
sebelum doa ini selesai kuaminkan.






di sebuah musim
aku menemukan namamu gigil
tanpa angin berembus
tetap menembus


gemetar dadaku menahannya
sekuat-kuat sakit
pasti akan punah juga
tapi kukatakan “tak apa”


engkau telah mengasah baik
kata-kata bak katana
panjang dan cantik
menambah debah tabahku yang tanah


sesungguhnya,
aku hanyalah penikmat musim
mengeja puja namamu begitu dingin
begitu sakit dan pahit


—mendengar kalimat lumat menyakitiku
seperti angin, di selesainya musim.






kalau boleh saya mengemis
mencintainyalah saya menangis
atas waktu yang berlalu tanpa mundur
atas kepercayaan yang menetap meski melumpur


jika tuhan mendengar kami
ketika gelas-gelas retak masih terpatri
mungkin saya tidak ingin berhenti
mungkin saya ingin tetap saja melukai hati


terkadang seperti bermain dengan bara
terbakar dengan segala apa yang kalian sebut kecewa
hangus tanpa sisa,
tapi tak kulihat keseriusan lain yang lebih jemawa


sayang,
saya punya banyak kisah yang ingin kuceritakan padamu
tapi saya lebih ingin membuat cerita-cerita itu
bersamamu…






hati-hati dengan penyair
tak akan kau dicintainya dengan apa-apa
kecuali sajak-sajak getir


hati-hati dengan kata-katanya
tak akan kau dipuja dengan istimewa
kecuali dengan huruf-huruf gila


hati-hatilah menyakitinya,
atau namamu kelak jadi puisi paling sakit
yang tidak akan pernah selesai







Aku Bisa Begitu Egois Mencintaimu.
suatu hari, ketika aku goyah dan ingin pindah
akankah kau menjadi sepasang lengan
yang menahanku dari perpisahan
akankah kau menjadi bibir yang berkata-kata
mengingatkanku betapa kita pernah saling mencinta


suatu hari, ketika aku benar harus tiada
mungkinkah perjalananku kembali mencarimu
dan kau tetap menunggu
mungkinkah kerinduanku lagi-lagi mencintaimu
dan kau masih tabah tak berubah


suatu hari, ketika kau dan aku bukan kita
apakah matamu akan masih sama
melihatku penuh cinta tanpa tanda tanya
memujiku penuh puja tanpa mengucapkannya
apakah masih bisa kulihat semua itu
jika kita kembali bertemu, membagi bisu


jika kelak suatu waktu menyakiti salah satu dari kau dan aku
siapakah dari kita berdua yang akan memaafkan terlebih dahulu
siapakah yang pertama mengatakan penyesalan dengan sebuah ciuman
jikalah itu kau
mungkinkah aku yang egois ini akan lelah dan luluh?


tetapi, sayang,
pada saat kau yang memilih untuk pergi
lebih dulu sebelum keputusanku
maka tak akan satu langkah kakimu pun aku biarkan
untuk menjauh, menyelesaikan kita sebelum membagi tubuh
maka peluklah aku,
sebelum perpisahan benar-benar memintaku






jika tiba saatnya kau butuh selimut yang cukup hangat untuk musim dinginmu, kau boleh meminjam sepasang lenganku untuk singgah di tubuhmu, karena aku bisa menahan gigil sepanjang malam untuk mencukupimu dengan kehangatan.
jika tiba saatnya kau butuh udara segar di musim yang begitu panas, kau boleh meminjam aku untuk menjadi angin yang bertiup hanya kepadamu. aku akan secukup mungkin ada untuk menghapus suntukmu di cuaca-cuaca buruk. 
jika tiba saatnya kau kedinginan ketika hujan jatuh begitu kuyup di jalanan, kau boleh meminjam pelukanku sebagai tempat teduh. hingga kau tak perlu bosan menunggu hujan reda; kau bisa tidur di dalam lenganku, jika kau kelelahan. dan aku akan menyediakan suhu yang cukup untuk menjagamu. 
jika kau sudah kucukupkan dengan keberadaanku, maka cukup kau hadiahkan aku seulas senyumanmu. 
sebab hanya dengan itu,
aku merasa cukup.





sore lahir dari matamu
ketika sebuah ciuman berhasil lumat di sepasang bibir kita
bukankah senja biasa tiba dan tenggelam di samudera?


aku dan puisi ini
burung kecil yang terbang selemahnya menghampirimu
sedang kau semakin jauh dan hilang
bukankah kita seharusnya sepasang yang diciptakan Tuhan?


ataukah aku salah menerka-nerka
tentang sebuah ciuman yang kukira itu permulaan?
–sementara bagimu itu perpisahan




aku ingin menghitung langkah kepergianmu
satu-satu
sebagai penantian yang luruh
perlahan


sedang sepasang lenganku ikut rubuh
tak lagi berani memanggilmu kembali
dan cinta
bukan lagi alasan yang cukup untukmu


mungkin kita hanya perlu sekali lagi berpelukan
jika kau mengizinkan
lalu aku akan sekali lagi bertanya
tidakkah cinta yang kemarin masih bisa menahanmu?


tetapi sayang sekali, 
sungguh kusayangkan..


kepergianmu,
dan hati ini
yang masih mencintaimu
dengan terlalu.






dalam kepergianku
namamu membakar keresahan
seribu kali lipat lebih panas
dari gerimis yang jatuh
mengiringi lambaian-lambaian tangan kita


cinta,
bukankah perpisahan ialah bagian kerinduan?
lalu mengapa perjalanan ini
menyakitkan..


dalam kepalaku
kita sepasang kenangan yang hidup berulang kali
memutar di satu titik
menjadi ketiadaan dalam pikiran-pikiran


kita perlahan memudar
dari pelukan yang begitu hangat dan nyata
menjadi ingatan menyedihkan
dalam kepala kau dan aku


kemudian aku berdoa,
semoga kenangan ini
semoga kebahagiaan ini
akan terulang
dalam pelukan pertemuan selanjutnya.


dan semoga cinta,
tak perlu sesakit ini
merindukanmu.


(aku ingin kau mengatakan: amin.)





kau tahu, Kukila,
sore ini ia membaca tubuhmu
sambil aku membaca matanya
–diam-diam


waktu itu kepadaku ia berkata:
telah lahir cinta di dalam hatinya
untukku yang mencintaimu, Kukila,
maka ia ingin pula mencintaimu
agar sempurna cintanya kepadaku


bukankah itu manis, Kukila?
dan tahukah kau, Kukila, 
aku semakin menggilainya
yang tengah membaca huruf-hurufmu


maka buatlah ia jatuh cinta, Kukila,
sebagaimana aku mencintaimu
dan mencintainya







malam semakin tinggi
dan bintangnya jatuh di mataku
selama aku mengingatmu
mengingatmu..


dinginnya basah di selimutku
sibuk menggigilkan kesunyian
sementara aku masih mengingatmu
mengingatmu..


kepalaku panjang berjalan jauh
menyelam ke laut-laut waktu
mendoakan kau selalu di sana
menjadi dermagaku
dermagaku..


tanganku menggenggam kehilangan
yang akan kubuang sejauh mungkin
sehingga kau tak perlu takut di ujung jariku
sebab tak aku miliki lagi kepergian
kepergian..


huruf-huruf ini,
biarlah jadi ketakutanku
yang terakhir
dan aku tak ingin kehilanganmu


kehilanganmu..





so they say that time takes away the pain
but i’m still the same
and they say that i will find another you
that can’t be true
dalam sebuah lagu, aku melihat kita sedang saling melambai dengan mata yang sama-sama menyimpan rahasia perasaan. kita memang belum sampai pada tujuan yang seringkali kita impikan; pertemuan, dan sebuah pelukan hangat. tapi ternyata waktu begitu mencintai rencana Tuhan lebih baik dari rencana kita sendiri, maka kita harus saling melepaskan, dan berhenti saling menyakitkan.
aku tidak mengira bahwa hujan akan menjadi jawaban. ketika mataku ialah langit yang masih menatapmu di kejauhan; sempurna dengan punggung yang memelukku dalam salam perpisahan. di saat itulah aku jatuh dan luruh bersamaan, sementara harus kupercayai jika waktu datang untuk membahagiakan, memberi kesempatan, pula mengambil segalanya tiba-tiba. 
so this is heartache?
so this is heartache?
ada sekumpulan huruf yang singgah dalam dadaku, untuk kemudian kutemukan mereka mengambil napasku satu persatu; sajakmu, sajakku, dan sajak-sajak kita yang koyak berhamburan. 
aku ingin memercayai sekali lagi dengan lagu yang menciumi kupingku begitu semangat;
kaukah itu? 
kepergian yang harus kutuliskan?





aku mengingat sebuah sajak ganjil, tempat huruf-huruf cerobohku tertulis dan mencintaimu. sampai tiba saatnya aku kembali ke angka ganjil ini, dan mendapati kita telah saling menghilangkan apa-apa yang kita rangkai sendiri; waktu yang berlalu, usia pertemuan, juga Tuhan dalam doa-doa lugu.
dan kini aku memutar ingatan di kepalaku yang kaupikir telah berkarat ini, dengan puisi seorang demonstran—Gie, dan suara kekasihnya yang menangis di Puisi Terakhir. kemudian kurasakan air matanya jatuh pula di mataku, meski dengan kehilangan yang berbeda.
kita tak pernah menanamkan apa-apa
kita tak kan pernah kehilangan apa-apa.






kepadamu, 
aku menyimpan rindu yang begitu khawatir
resah yang kutemui tanpa akhir
dan segala debar
yang tak kau tahu seberapa sabar


percayalah,
seringkali aku mencarimu
memanggil namamu
tetapi tetap kutemui kau tiada


dan aku hanya bisa berdoa,
agar kelak kita mampu saling mencinta;
agar kau membalas penantianku,
dan aku akan menjaga hatimu
melebihi lamanya 
usia cahaya






tadinya, 
aku ingin menuliskanmu kerinduan
yang sudah lama 
menginap di dalam dadaku, 
memanggil namamu.


tetapi lucu, 
bukan tinta yang membasahi kertas, melainkan air mataku.


deras yang jatuh 
tanpa tahu malu


deras yang jatuh
sebab menyadari
kau telah pergi,
—berlalu.







pada sebuah cuaca,
aku menitipkan ingatanku
yang tak bosan-bosan
mengenangmu


sebab aku butuh sepejam saja
untuk berhenti mengingat kita;
segala yang tak lagi ada


tetapi di bulan desember,
langit kembali menjatuhkan ingatan itu
berupa hujan gerimis,
seakan ia menangis.


kemudin aku percaya,
pula langit tak mampu menampung 
cintaku
padamu
yang begitu hebatnya.







aku ingin mengulang waktu
sedetik sebelum membalas sapamu
agar kita lebih baik tak saling mengenal
dan menyakiti di kemudian hari


aku ingin mengulang waktu
sedetik sebelum sebuah ciuman
menenggelamkan kita di sebuah kisah
yang pada akhirnya karam
dengan saling berduka


aku ingin mengulang waktu
ketika aku mencintaimu
hanya di batas kata-kata


tetapi sayang,
waktu tak melangkah ke kiri,
maka kini kutanggung saja sakitku sendiri.







ada hal-hal yang pagi sampaikan untukku kala itu:
matahari yang bangun terlalu cepat,
sepasang mata yang menyesal jatuh terlelap semalam,
dan kau yang masih tidur dengan rambut yang sudah terpangkas rapi.


waktuku sudah habis,
kita segera kembali ke dinding dan atap masing-masing,
sementara wajah bangun tidurmu
sungguh mengundang rinduku datang terlalu cepat.


penyesalan di hari perpisahan juga percuma,
mataku terlalu lelah semalam,
dan tak kau bangunkan.
terkikis sudah kesempatan-kesempatan menikmati malam
sampai akhirnya pagi benar-benar mengusirku
dari tempatmu


oh, semoga,
setelah kau melepasku dengan pelukan,
kita tidak akan berakhir sesingkat itu.


maka aku pulang,
dengan keadaan mencintaimu.





apakah yang ingin kaubaca di dalam kata-kataku?
huruf-huruf bisu itu tak pernah menyentuh bibirmu
masih malu-malu
atau mimpi tanpa malu. 
entahlah.

apa yang kaurasakan ketika puisi ini sedang berusaha memelukmu
mungkin hanya janji atau ilusi atau mimpi
yang tak kau dan aku mampu 
bahkan tak akan mungkin mampu
menyatakannya.

maka apakah?

ombak-ombak tersipu
di ujung bait-bait
kau bahkan belum menyadarinya,
mengalun alirnya ke dalam matamu
ingin tahu, cintakah kau kepadaku?

di embus napas puisi ini
kau sedang membaca orang lain
yang ada dalam tubuhku;
hidup sekian tahun dengan puisi
dan sekujur kata-kata.
matamu sedang dikecup-kecupi debar hangat puisi ini;
jika kau mau.

maka bacalah sampai selesai,
mungkin akan kau temukan sebentuk cinta pada akhirnya; degup pelan berlarian, menembus akalmu.
mungkin akan kau rasakan perasaan seseorang; hal-hal yang puisi ini berusaha sembunyikan.

tahukah kau?

perlu sedikit hati-hati matamu membaca, jangan terjatuh
di tengah-tengah dan mulai bertanya-tanya,
inikah kasih kepada kata-kata atau kisah yang membutuhkan sebuah mula, dan membuat dadamu menghangat,
seperti dimantra, kalimat ini lantas membuatmu merasa dicintai.

kau sudah hampir sampai pada akhir,
maka layak untukmu sebuah pengakuan, bahwa huruf-huruf
kata-kata
bait-bait
dalam puisi ini
adalah tubuhmu

yang kurangkai sendiri.





apa yang ingin kau dapat dari riuh?
aku kembali padamu
suara orang-orang hilang di udara
musim berhenti berganti
harapan lebih surut dari laut
aku melupakan harapan
hujan jatuh tak pernah reda
dinding-dinding mengancam duka
sepasang mata berkabut penuh takut

apa yang ingin kau dapat dari aku? 
kata-kata jatuh berserakan
berantakan
hilang laju
tanpa arah
jengah

kita bukan lagi apa-apa

bahkan titik atau koma



kembalilah sekali lagi
pada kata-kataku yang dulu
kau telusuri setiap rindu

mungkin kau akan menjadi puisi
sebab, sungguh, kau masih ingin
kutulisi

seperti embun, di jendela pagi
basah dan dingin
dan kau tak peduli, tetapi kau tahu,
ada puisi yang membeku di situ
ketika suatu pagi
aku kehilangan kau berkali-kali

hurufku gigil dan kehilangan arah
ketika mengingatmu; parah, berdarah,
rindu memang tak pernah mudah

maka kembalilah sekali lagi
jika ada rindu di dadamu,
kembalilah sekali lagi,

pada puisi yang menuliskanmu.





tidak ada lagi cinta
ketika angin ribut kautiup
dalam kata-kata
yang dulu renjana

tidak ada lagi rindu
ketika pagi kehilangan sapa
ditelan hujan dan embun
yang selalu basah

kau pergi tak meninggalkan
apa-apa, 
tidak pula kata-kata.







Source : MEMPUISIKAN

You May Also Like

0 comments